Jumat, 02 Mei 2008

UN Kebijakan Yang Tidak Bijak

UN Kebijakan Yang Tidak Bijak
Jumat, 2 Mei 2008 | 09:17 WIB

Kebijakan pemerintah dipastikan menelan banyak korban. Dari tahun ke tahun selalu mengundang kontroversi. hal yang paling disayangkan adalah aset bangsa dijadikan kelinci percobaan. Penurunan mental yang sebenarnya masih dalam fase pengembangan justru memperburuk keadaan kualitas sumber daya manusia Indonesia.

Silih bergantinya kebijakan menunjukkan ketidakmatangan suatu pemerintahan yang konon katanya suara hati rakyat. Rumah-rumah pengaduan nasib sekaligus wadah aspirasi rakyat dijadikan simbol betapa nama rakyat diagungkan. Namun sayang, hanya simbol semata.

Sebelum masyarakat mulai beradaptasi terhadap satu kebijakan yang pemerintah tetapkan, pemerintah telah mengubahnya. Ini mengingatkan kepada kita akan masyarakat primitif yang nomaden.

Akankah ini membuktikan kemunduran bangsa kita? Ironisnya, ini kerap terjadi di bidang pendidikan. Kurikulum yang baru setengah perjalanan sudah berganti haluan. Lalu, kapan mencapai tujuan?

Minimnya sarana bukanlah suatu keterbatasan yang dijadikan alasan untuk bertindak maju. Sarana hanyalah sebagai baju pelengkap kegiatan menuntut ilmu. Sebaliknya, nyawa dalam pendidikan adalah ilmu.

Namun, yang sering digembar-gemborkan justru pembangunan sekolah di sana-sini tanpa diketahui seberapa jauh ilmu yang diserap dari kegiatan belajar. Sekolah banyak dimanfaatkan sebagai lahan bisnis, proses pembangunan sarana dan prasarananya bisa menguntungkan banyak pihak, terutama oknum yang memanfaatkan dana ilegal dari sana.

Ujian nasional yang dicanangkan sebagai program peningkatan standar mutu hanyalah sebuah bahasa formal semata. Pada kenyataannya, cacat di berbagai prosesnya. Sejak tahap input, yaitu pembuatan soal, pada soal yang diujikan sering tidak berdasar atas standar kompetensi lulusan (SKL) yang telah resmi dibuat dan diedarkan melalui sekolah maupun internet.

Pada jurusan IPS, kasus ketidaksesuaian dengan SKL itu banyak ditemukan pada mata pelajaran Geografi. Siswa berharap akan lulus ujian jika belajar pada jalurnya. Namun jika sudah lepas dari jalur, siapa pihak yang harus bertanggung jawab atas tangis histeris setelah para peserta menempuh ujian?

Sedangkan pada tahap pemrosesan ujian, kecurangan yang terjadi baik panitia, pengawas guru, maupun peserta ujian adalah cara instan mendapatkan suatu nilai. Hal ini wajar karena nilai merupakan standar baik-buruknya tingkat kecerdasan seseorang selama menuntut ilmu.

Tingkat kemampuan mengamalkan ilmu kurang diutamakan dalam pengukuran sejauh mana ilmu didapat. Hal ini tecermin pada lembar ijazah kelulusan. Pada lowongan pekerjaan maupun melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, angka yang tertulis yang diutamakan.

Kecurangan bersumber dari aspek ini. Mereka berlomba mendapat angka tertinggi dengan menghalalkan segala macam cara termasuk mencontek maupun membeli soal yang telah bocor.

Jika ingin menaikkan mutu, mengapa pemerintah tidak meningkatkan kualitas soal sesuai jalur? Padahal, ini dapat memacu siswa untuk mempersiapkan diri sebelum ujian sesuai dengan standar pemerintah.


(Reni Rakhmawati, Siswa Kelas XII IPS 3 SMA Negeri 3 Magelang, Jawa Tengah. Betapa lebih baik saya menumpahkan aspirasi daripada harus menangis dan mengeluh meratapi keadaan.)

1 komentar:

opungregar mengatakan...

Persoalan pendidikan kita hingga hari-hari belakangan ini memang belum tuntas.Alangkah sedihnya bangsa ini manakala perhatian tehadap pendidikan tak kunjung terselesaikan. Masalah kebijakan yang berkait dengan UN, kelihatannya masih penuh misteri, mau diapakan masa depan anak-anak didik kita. Baik ketika mereka duduk dibangku sekolah maupun sesudah mereka lepas sekolah. Belum lagi soal perguruan tinggi mana yang akan menerima mereka. Di satu pihak tuntutan terhadap kualitas lulusan menjadi ancaman bagi siswa-siswa itu sendiri. Bari kita pikirkan bersama.