Rabu, 02 Juli 2008

KULTUR POLITIK DAN PERUBAHAN SOSIAL


Oleh Aminuddin Siregar (Penulis Staf Pengajar pada PUSDIKLAT DEPDAGRI Regional Bukittinggi)

Ibnu Khaldun, adalah seorang pemikir besar Islam. Ia tidak saja sangat populer dikalangan cendikawan muslim, tetapi juga dihampir semua kalangan masyarakat ilmiah, khususnya dilingkungan mahasiswa yang menggeluti bidang studi ilmu-ilmu sosial. Bagi mereka yang menekuni pemikiran politik Islam, segera akan mengenali prinsip sosiologis Khaldun. Itu sebabnya mengapa sejumlah kalangan akademisi berusaha menyimak pemikiran politik Ibnu Khaldun.

Seperti halnya Al-Ghazali yang bicara tentang realitas politik, Ibnu Khaldun, juga ternyata punya andil besar dalam pengungkapan sejarah kehidupan sosial politik. Dalam konteks pemikiran politik Islam, Khaldun ternyata berhasil menciptakan penghalusan budaya politik dalam kehidupan masyarakat nomade, ysng dikenal sebagai masyarakat berkehidupan keras.

Bahwa secara kultural, budaya politik masyarakat yang mempunyai kebiasaan berpindah-pindah dari satu tempat ketempat lain itu, ternyata secara berangsur-angsur dapat beradaptasi dengan kekuatan-kekuatan kultural lainnya, sehingga watak politik yang keras menjadi semakin diperhalus dan secara inheren nampak logis dan masuk akal, ketika dilihat dari tidak tanduk dan perilaku mereka.

Dalam konteks itulah, oleh pemikir terkemudian, konsep politik Khaldun dianggap masih tetap relevan terhadap perkembangan pemikiran politik di kemudian hari. Semua gagasan sosiologisnya, ungkapan kultural, dan pemikiran pemikiran politik beliau merupakan wariasan bagi kelangsungan sejarah kehidupan sosial politik Islam. Di mana karakteristik politik Islam tidak selalu identik dengan fundamenlaisme radikal, kekerasan dan ekstrim.

Akan tetapi bila dicermati keterkaitan antara masa lalu, masa kini dan masa datang, yang dibatasi oleh rentang waktu panjang dan membedakannya dari satu periode sejarah kehidupan politik ke periode sejarah kehidupan politik lainnya, ternyata telah ikut menentukankonstelasi politik Islam, sekaligus mewarnai sejarah kehidupan politik sejak masa awal kehadiran politik Islam di pentas dunia dan perpolitikan internasional.

Ibnu Khaldun sangat populer sebagai seorang sosiolog dibidang politik, disampaing sebagai sejarawan muslim terkemuka. Yang oleh Arnold Jhosep Toynbee, memujinya sebagai pemikir sekaligus perumus filsafat sejarah yang tiada tandingnya di manapun saja. Pemikiran politiknya, sesuai dengan pandangan politik Islam, meskipun barangkali hal itu hanya relevan dengan bangsa-bangsa Arab dan masyarakat sezamannya.

Tetapi kajian tentang perubahan sosial yang dikemukakannya dapat dijadikan sebagai referensi dan pembanding di kemudia hari. Termasuk tentu saja, melihat kekinian politik Indonesia yang ikut menentukan konstelasi politik yang berkembang dalam masyarakat multikultur. Walau bagaimanapun memerlukan penghalusan budaya politik yang beberapa waktu belakangan ini cenderung mengarah pada budaya politik kekerasan. Sukar untuk ditafsirkan, bila kita tidak melihat semua aspek kultural yang menyertainya.

Persoalannya, apakah dalam konteks Indonesia, saat menjelang pemilu 2004 mendatang ini budaya politik kita akan menjadi lebih halus, apabila kecenderungan munculnya kekuatan politik yang justru lebih mengarah pada tindak tanduk dan perilaku yang dapat dilihat secara kultural tidak lagi bersifat logis, tetapi lebih bersifat egois dan emosional ? Bahwa persoalan politik bangsa ini ternyata memerlukan penafsiran kembali, yang tujuannya ialah untuk menghindari ancaman bahaya munculnya kekerasan politik, yang mengakibatkan tidak kondusifnya perpolitikan kita.

Perubahan Pola

Dalam konteks di atas, tulisan ini tidak bermaksud melacak akar sejarah pemikiran politik Ibnu Khaldun. Tetapi, lewat pemikiran politik Islam Ibnu Khaldun, terbukti bahwa kehidupan politik Islam juga mengalami perubahan. Jauh sebelum Auguste Comte, mengembangkan perspektif sosiologisnya, Ibnu Khaldun telah memperkenalkan model dan karakteristik kehidupan politik masyarakat Islam. Pola perubahan sosial inilah yang oleh D.P. Johnson disebut sebagai warisan khusus dari pengalaman dunia padang gurun di Arab. Yang kemudian ikut menentukan terjadinya reformasi politik.

Kajian sosiologis itu muncul ketika terjadi kecamuk politik dan berkurangnya rasa solidaritas dikalangan masyarakat. Baik masyarakat-masyarakat menetap maupun orang-orang pengembara, sebagai akibat dari berkembangnya peradaban umat manusia. Inilah antaralain yang ikut menentukan pola-pola perilaku politik dan menjadi karakteristik suatu masyarakat dalam kehidupan politik mereka. Dalam kaitan itu agaknya perlu dikaji, bagaimana pola-pola perubahan politik itu terjadi di dalam setiap komunitas politik, seperti yang kita alami di Indonesia.

Dalam perspektif perubahan sosial, dapat misalnya kita amati tentang perubahan cepat yang sedemikian dramatik terjadi dihampir semua bidang kehidupan manusia. Percepatan perubahan sosial ini mau tidak mau akan mempengaruhi konstelasi politik terhadap peta perpolitikan suatu bangsa. Bukan saja di dalam masyarakat modern tetapi juga di dalam masyarakat yang sedang memodernisir dirinya.

Analisis terhadap kebangkitan dan keruntuhan berbagai kultur dan peradaban umat manusia, adalah salah satu contoh, yang tidak dapat dipungkiri. Bahwa dorongan untuk menguasai segalanya merupakan akibat dari perilaku kekuasaan politik. Di saat yang bersamaan muncul kekerasan, tatkala kekuasaan, menjadi satu-satunya kepentingan yang dipertaruhkan penguasa.

Pola perubahan politik seringkali dianggap sebagai pemaksaan kehendak. Yang walau bagaimanapun akan mempengaruhi sosio-psikologis masyarakat, khususnya bagi komunitas politik tertentu, bukan saja di dunia Arab tetapi juga komunitas politik lainnya yang anti kekerasan.

Postulasi Politik

Postulasi politik dapat dikatakan sebagai landasan berpikir kepolitikan dari rangkaian peristiwa politik. Mungkin saja sifatnya metaforik antara model kepolitikan satu dengan model kepolitikan lainnya. Secara kultural dilakukan misalnya melalui penghalusan budaya politik. Ini akan sangat bermanfaat bagi dinamika perpolitikan ke arah lebih kondusif, sebagaimana harapan banyak orang.

Penghalusan budaya politik yang kita maksudkan ialah budaya politik yang memberi cara baru, paradigma baru, dan sistem kultural baru yang dapat memberi arti terhadap cara-cara kita berpolitik, cara kita melibatkan diri dalam segala kergiatan dan aktivitas kita, termasuk cara kita menyikapi kehidupan sosio-politik, sosio-ekonomi, sosio-kultrural dan sosio-psikologis, dalam kehidupan politik yang kini sedang kita jalani.

Itu artinya tidak hanya logika dan akal sehat semata yang mesti kita gunakan dalam semua aspek dan cara kita berpolitik. Tetapi juga dengan kecerdasan emosional dan kecerdasan spritual, intuisi dan perasaan. Termasuk menggunakan imajinasi dan kreatifitas kita, perlu ikut ambil bagian. Ketika misalnya, panggung politik menjadi bagian dari pilihan hidup seseorang dan siapa pun saja. Sehingga ikut menciptakan suasana politik yang kondusif. Bisakah ?

Dengan demikian diharapkan model kepolitikan kita di abad 21 ini ialah model kepolitikan yang membawa bangsa dan seluruh rakyat Indonesia pada kondisi yang tidak saja kondusif tetapi juga ritmis. Bahwa model kepolitikan yang mencerminkan keragaman budaya ialah melalui komunikasi politik yang lugas dan santun. Arti kata tidak saja menggunakan simbol sebagai metafora politik tetapi juga sebagai wujud kepedulian yang menjadi karakteristik kepolitikan kita dalam menjawab persoalan kekinian kita.

Penghalusan budaya politik, agaknya perlu bagi kita senua, bukan saja saat menjelang pemilu 2004 dan masa pemilu belaka melainkan juga dalam pasca pemilu. Itu pula sebabnya, diperlukan upaya-upaya menghindari budaya kekerasan politik. Sehingga tidak saja akan membawa seluruh rakyat Indonesia pada kedewasaan berpolitik, tetapi juga dapat memastikan bahwa arah kehidupan politik, tidak saja dinamis tetapi juga tetap dalam koridor dan nafas demokrasi. Mari terus kita bangun.


Tidak ada komentar: