Minggu, 04 Mei 2008

Resensi Buku

ES Ito dan Dunia Seandainya
Minggu, 9 Maret 2008 | 03:22 WIB

Donny Gahral Adian

Sastra Indonesia dihentak keras oleh terbitnya sebuah novel sejarah berjudul ”Rahasia Meede” karya ES Ito.

Mengapa saya sebut demikian? Bukankah novel sejarah bukan barang baru dalam sejarah Sastra Indonesia? Ada dua jawaban. Pertama, ES Ito mengentak dengan pengungkapan fakta-fakta sejarah yang selama ini tersembunyi. Bahwasannya ada sejarah lain yang beringsut di balik sejarah resmi bangsa ini. Kedua, ES Ito mengentak diskursus kritik sastra Indonesia dengan segaris kontroversi keras.

Jawaban kedua adalah yang paling menarik. Akuratnya data yang dipakai ES Ito membuat para sejarawan mengelu-elukannya dan bahkan ada yang mengusulkan karyanya dipakai sebagai buku teks sejarah. Bagi mereka, ES Ito membuat kita seolah tengah menyaksikan peristiwa-peristiwa sejarah dengan mata telanjang, kini dan di sini. Anehnya, sebagian kritikus sastra kita mengiyakan premis para sejarawan tersebut. Meminjam beberapa teori sastra mutakhir, mereka mengamini kesatuan napas antara sastra dan sejarah. Namun, saya bersilang pendapat.

Sejarah bukan rajutan kepastian, melainkan gugus tanda tanya. Mengapa demikian? Jarak antara kekinian dan kelaluan dipotong oleh satuan waktu yang tidak bisa diulang. Kita hanya mampu membaca data-data sejarah dari sudut waktu yang terbatas.

Oleh karenanya, di satu sisi sejarah dan kisah sulit untuk dibedakan. Keduanya bukan sekadar serakan peristiwa yang tak terorganisasi. Kisah adalah jalinan peristiwa yang menghimpun makna pada dirinya. Kisah bisa bergerak maju dan bertumbuh, berbalik arah, berbelok tajam, mundur teratur atau tidak teratur, dan lain sebagainya. Apa pun, kisah sama halnya dengan sejarah menghimpun makna dalam dirinya dan mengundang tanya. Pertanyaan sejarah bukan apa yang sudah terjadi, tetapi apa artinya itu bagi kita.

Pengarang adalah author, yaitu si pemilik otoritas atas makna kisah yang tersampaikan. Kompleksitas penokohan, plot, dan setting adalah sarana si pengarang menyampaikan sesuatu ke pembaca. Sejarah pun menyampaikan sesuatu kepada kita para penggandrung sejarah. Hanya saja, data-data sejarah tidak berbicara sendiri. Mereka berbicara melalui pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan sejarawan. Dan sejarawan senantiasa melontarkan pertanyaan dari satu kerangka acuan atau paradigma tertentu. Orde Baru adalah sebuah paradigma. Sejarah di mata Orde Baru adalah sejarah yang dipaksa menuturkan dirinya dari kerangka acuan dominan.

Persoalannya, bagaimana antara pengarang sastra yang otoritatif dan sejarah yang senantiasa berkelit mampu bergandengan tangan. Atau, bagaimana sastra yang bekerja dengan imajinasi dan sejarah yang bekerja dengan data-data besi memadu. Yang satu berfokus pada perluasan rentang imajinasi, sementara yang lain: keakuratan. Yang satu melayani kebutuhan estetika, sementara yang lain, epistemologi. Dalam estetika keakuratan pengetahuan tidak dipersoalkan selama efek keindahan terhaturkan dengan sempurna. Sementara, epistemologi sangat mempersoalkan keakuratan pengetahuan, apalagi pengetahuan yang potensi falibilitasnya besar macam pengetahuan sejarah.

Nah, apakah pantas kita mempertanyakan keakuratan pengetahuan sejarah dalam sebuah novel sebagai karya estetis? Sebelum menjawab itu, ada baiknya kita sapu sekilat apa yang dilakukan para novelis sejarah seperti Dan Brown dan Umberto Eco. Dan Brown kita semua tahu membuat gereja Katolik kebakaran jenggot karena Novel kontroversialnya yang berjudul Da Vinci Code.

Dalam novel itu dikisahkan bagaimana seorang profesor simbologi dari Harvard dikejar-kejar sekte keras Opus Dei akibat penelusurannya atas sejarah Kekristenan yang bisa memutarbalikkan bahkan mendekonstruksi fundamen keimanan Kristen. Lewat pembacaan simbol-simbol yang terserak di sana-sini akhirnya sejarah alternatif itu sedikit demi sedikit mengemuka. Persoalannya, apakah sejarah alternatif dalam novel Dan Brown adalah sejarah yang sesungguh? Apakah ada pretensi Dan Brown untuk meluruskan sejarah Kekristenan yang tertimbun pelbagai prasangka dan stereotip baik teologis maupun kultural? Kita tunda sejenak spekulasi tersebut.

Umberto Eco, ahli semiotik dan sastrawan, baru saja menulis novel yang ia beri judul Baudolino. Novel itu ditulis dengan semangat komikal yang kental. Baudolino adalah nama seorang anak yang diadopsi Kaisar Romawi, Frederick I. Kisah dalam novel ini berpusat pada cerita Boudolino pada Niketas Choniates, seorang sejarawan terkemuka (patut diketahui bahwa Niketas adalah tokoh nyata yang terkenal dengan bukunya berjudul: The Sack of Constantinople). Cerita Boudolino terhadap Niketas adalah soal sepak terjangnya di balik pelbagai peristiwa sejarah kekaisaran Kristen Romawi. Melalui Boudolino, ia mendapatkan pelbagai cerita alternatif tentang peristiwa-peristiwa penting, seperti matinya Kaisar Frederick I.

Apa yang dilakukan Eco dan Dan Brown semata-mata mengganggu pelbagai cerita resmi sejarah Kristianitas. Mereka memasukkan banyak fakta sejarah dan menyelimutinya dengan fiksi. Apakah Eco dan Dan Brown ingin mengatakan bahwa sejarah yang dipahami selama ini adalah palsu? Tidak. Baudolino, misalnya, mengatakan sejak semula bahwa dia adalah seorang pembohong. Eco hanya ingin mengganggu kemapanan pikiran kita tentang pelbagai peristiwa sejarah. Ia menawarkan dunia serba mungkin yang selama ini tertutup oleh kegilaan pada akurasi. Akurasi sendiri jangan selalu dipahami selaku kerangka kerja ilmu pengetahuan. Sebab, bisa jadi akurasi merupakan hasil kerja ideologi yang tidak kita sadari. Dengan bermain-main secara imajiner bersama Baudolino, pembaca dibukakan pada dunia seandainya.

ES Ito seperti halnya Eco dan Dan Brown saya kira mengajak kita bertamasya ke dunia seandainya. Memang ada fakta keras di sana-sini. Bahkan, ada seorang bekas prajurit Sandi Yudha Kopassus (minta dirahasiakan namanya) terenyak melihat betapa detail dan kerasnya fakta-fakta intelijen yang dibeberkan ES Ito tentang operasi di Aceh. Namun, apa pun itu, ES Ito tidak mengajak kita mengukur-ukur sejarah. Sejarah dalam karya sastra bukan untuk diukur, melainkan dibangkitkan dari rezim kepastian. Sama seperti Yesus dibangkitkan dari kematian di hari ketiga, sejarah juga dibangkitkan dari kematian imajinasi dan pengandaian. Dunia seandainya dalam sejarah adalah dunia yang terhalang oleh kegilaan pada akurasi yang diidap oleh ilmu pengetahuan.

ES Ito mengajak kita untuk membayangkan seandainya VOC meninggalkan harta karun berupa batangan emas di salah satu sudut tanah Nusantara ini. Sebuah tanda tanya yang dituturkan lewat serangkaian tanda tanya lainnya: pembunuhan lima orang penting di kota yang senantiasa diawali dengan huruf ”B”, pesan di tubuh korban berupa satu dari tujuh dosa sosial Gandhi, Penculikan Cathleen Zwinckel, mahasiswi Leiden peneliti sejarah ekonomi kolonial, organisasi bawah tanah bernama Anarki Nusantara, dan masih banyak yang lainnya. Banyak kejutan di sana-sini layaknya suspense-fiction lainnya. Semuanya berujung pada ketakterdugaan yang membuat nalar kisah yang sudah membentuk dirinya di kepala kita hancur berantakan.

Ada satu hal yang ingin disampaikan ES Ito secara sederhana di balik kompleksitas plot, penokohan, dan setting yang dibangunnya. Sejarah kolonialisme adalah sejarah perampokan kekayaan bumi pertiwi yang luar biasa hebatnya. Sebuah sejarah keserakahan yang sayangnya diulangi lagi oleh sebagian elite republik kita sendiri. Kita menyaksikan tanah, sejarah, adat istiadat dirampas oleh keserakahan perusahaan penambangan yang notabene milik orang Indonesia sendiri. Kalau dulu bau rempah-rempah menyulut syahwat ekonomi orang-orang Eropa, sekarang bau minyak dan gas bumi menyulut syahwat orang-orang kita sendiri. Dunia seandainya yang dibangun ES Ito adalah sebentuk satire tajam terhadap kelakuan para penghuni republik ini. Negeri yang sesak dengan ”batangan emas” seperti Indonesia tidak selayaknya terpuruk seperti saat ini. Kita semua silau oleh emas yang terwariskan, tetapi gagal menatah emas kita sendiri yang tersebar di pelosok Nusantara. Itu saya kira pesan rahasia ES Ito yang mungkin saja salah saya pahami. Toh, kesalahpahaman adalah bagian dari permainan imajinasi juga.

(Donny Gahral Adian Dosen Filsafat Universitas Indonesia)

Tidak ada komentar: